Ustadz Adian Husaini: Childfree, Adab Berkeluarga, dan Fitrah Manusia

Photo by MI PHAM on Unsplash

Ditulis oleh: Rahmat Ardi Nur Rifa Da’i

A. Childfree dan akar masalahnya

Disaat ramainya perbincangan tentang fenomena “Childfree” yaitu pilihan hidup untuk tidak memiliki anak setelah menikah di sosial media umumnya dan di Indonesia khususnya. Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS) UNIDA Gontor mengadakan Sekolah Pemikiran Islam (SPI) yang diadakan selama tiga sesi untuk mengkaji dan merespon fenomena tersebut. Salah satu pemateri yang dihadirkan dalam kajian tersebut adalah Dr. Adian Husaini, M.Si, Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia dan sebagai moderatornya Ahmad Rizqi Fadhillah, S.H Mentor PKU Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor. Acara ini diadakan pada hari Selasa tanggal 31 Agustus 2021 secara daring atau online yang diikuti oleh 700-an peserta.

Dalam sekolah pemikiran Islam (SPI) di sesi kedua ini, Dr. Adian Husaini, M.Si membawakan tema yang berjudul “Polemik Childfree: Tinjauan Filosofis dan Ajaran Islam”. Dalam penyampaiannya beliau menjabarkan bahwa memilih childfree merupakan bentuk kegagalan dalam memahami “Islamic Worldview” tentang keluarga dan tidak beradab karena menyalahi fitrah manusia. Seseorang yang sudah menikah dan menjatuhkan pilihan untuk tidak memiliki anak (tanpa alasan tentunya) merupakan hal kesalahan besar. Apalagi mendukungnya dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan pikirannya. Karena tentu para penggelora “childfree” dalam segala tindakannya mereka menyampingkan bahkan meninggalkan aspek ketuhanan dalam dirinya.

Padahal Islam mengajarkan bahwa anak merupakan investasi akhirat bagi keluarga. Ketika orang tua membesarkan anak, maka betapa banyak pahala yang diraih oleh kedua orang tua tersebut. Tentu sebagai orang tua tidak hanya memberi makan dan membesarkan saja. Seorang keluarga harus mendidik, menanamkan adab dan akhlak dengan benar selain memberi nama yang baik. Karena anak merupakan generasi penerus bangsa. Maka dari itu setiap individu dan tentunya orang tua perlu memperhatikan adab dalam berkeluarga sebagai bentuk fitrah manusia.

B. Adab Berkeluarga dan Fitrah Manusia

Dalam persoalan adab diatas, beliau mengutip pendapat KH. M. Hasyim Asy’ari dalam bukunya “Aadabul ‘Aalim Wal-Muta’alim” tentang hak seorang anak atas orang tuanya yang merupakan bentuk adab bagi orang tuanya, beliau berkata;

عن ابن عبَّاس قال: قالوا: يا رسولَ الله، قد علِمنا حقَّ الوالد، فما حقُّ الولَد؟ قال: أن يُحسن اسمَه، ويحسن مرضعه ويُحسن أدبَه

Artinya; “Hak seorang anak atas orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik, pengasuhan yang baik, dan adab yang baik”.

Jika melihat dari hadist tersebut, beliau menyimpulkan bahwa memiliki anak merupakan pilihan yang sangat tepat (beradab) bagi keluarga. Tentu dengan menjalankan hak-hak orang tua atas anak yaitu memberi nama yang baik, mengasuhnya, dan menanamkan nilai-nilai adab dengan benar merupakan suatu kewajiban dan adab bagi orang tua.

Memiliki anak dalam Islam selain bentuk adab bagi orang tua. Tentu itu merupakan fitrah manusia. Karena fitrah manusia adalah memiliki anak dan mendidiknya. Dr. Adian Husaini, M.Si mengutip Hadist Bukhori dan Muslim;

كل مولود يولد على الفطرة فابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه

Artinya; “Setiap yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (bersih) tergantung yang mendidiknya, dapat di yahudikan, atau di nasranikan, atau juga di majusikan.”

Beliau menggaris bawahi bahwa dalam hadist tersebut yang lebih ditekankan adalah “fa abwahu…..”. Kalimat ini menunjukkan bahwa pentingnya pendidikan orang tua. Ini yang menurut beliau perlu diperjuangkan. Karena tidak sedikit dari orang tua saat ini tidak tahu cara mendidik anak dengan baik. Mereka lupa arah dan tujuan sesungguhnya pendidikan seorang anak. Sehingga nantinya ketika mensekolahkan anaknya hanya bertujuan untuk menjadi orang yang sukses dan menjadi pekerja (materi dan duniawi).

Persoalan mendidik anak sebagaimana diatas juga dirasakan oleh para tokoh Barat. Mereka juga memikirkan bagaimana mendidik anak dengan baik walaupun sudah menguasai dan mendapatkan apa-apa yang mereka inginkan seperti teknologi, ekonomi, politik dan sebagaimananya. Dr. Adian Husaini, M.Si mengutip pendapat salah seorang professor Carrol Quigley dan mantan mentor Bill Clinton (lengkapnya William Jefferson Clinton Presiden Amerika Serikat ke-42) tentang persoalan mendidik anak. Ia berkata dalam bukunya “Tragedy & Hope” bagian akhir:

“we may, in the near future, know how to postpone senility and death….. Some things we clearly do not yet know, including the most important of all, which is how to bring up children to form them into mature, responsible adults…”.

(Kita mungkin dalam waktu dekat ini tahu bagaimana menunda kepikunan dan kematian….. Beberapa hal yang jelas-jelas belum kita ketahui, termasuk yang paling penting adalah bagaimana membesarkan anak-anak untuk membentuk mereka menjadi dewasa, orang dewasa yang bertanggung jawab…)

Dari uraian ini menunjukkan bahwa walaupun bangsa Barat (amerika) sudah mencapai kejayaannya (dalam bentuk materi), Namun tetap saja mereka masih mempertanyakan bagaimana mendidik anak dan menjadi orang tua yang baik.

Kemudian, beliau menekankan dalam mendidik anak (dalam Islam) tentu dengan ilmu yang benar (Islamic Worldview) dan akhlak yang benar pula. Antara Ilmu dan akhlak itu tidak bisa dipisahkan karena itu adalah adab menuntut ilmu. Bentuk keseriusan orang tua dalam mendidik anaknya ini adalah bentuk ibadah karena manusia diciptakan oleh Allah Swt untuk beribadah “Liya’buduun” (al-Dzariyat ayat 56). Begitu pula melahirkan anak itu juga bentuk ibadah karena anak adalah ladang ibadah. Jika seseorang melakukannya dengan baik dan benar maka ia akan terhindar dari api neraka. Sebagaimana dalam ayat alquran at-Tahrim ayat 06;

قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Artinya: “peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..”.

C. Sebuah Solusi dan Nasehat Dr. Adian Husaini, M.Si

Selanjutnya, dalam persoalan childfree Dr. Adian Husaini, M.Si memiliki dua sudut pandang atau pendapat; pertama, Jika seseorang itu mampu dan sanggup, maka adabnya (pantasnya) ia bisa melahirkan anak. Kedua, Jika pun dalam keadaan terpaksa atau darurat dan punya ‘illah (alasan). Maka memilih tidak punya anak (saat itu) tidak apa-apa, namun sebagai orang yang sudah menikah harus tetap memiliki keinginan dan harapan untuk punya anak karena itu bentuk fitrah manusia.

Persoalan childfree ini sebagaimana yang ada sekarang dan ada sebagian orang yang mendukungnya. Menurut beliau hanya sebuah isu yang hanya ada sekarang. Beberapa tahun kedepan isu itu akan hilang karena mereka tidak punya anak dan tentu sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Sehingga disini dalam forum kajian CIOS, beliau lebih menekankan untuk lebih berfikir kedepan. Untuk memikirkan generasi mendatang dengan mendidik anak sebaik mungkin. Karena anak adalah aset bangsa dan insya allah akan menjadi pemimpin masa depan.

Memang dalam persoalan keluarga dan memiliki anak sebagai bentuk fitrah manusia tentu dalam menjalankannya mesti ada cobaannya (salah satu jawaban dari pertanyaan peserta online). Dr. Adian Husaini, M.Si menawarkan dalam menyelesaikan problem keluarga salah satu bentuk solusinya dengan “harus ada yang ngalah”. Hal ia sandarkan dengan pepatah jawa “Wani Ngalah Luhur Wekasane”. Makna dari kata “wani ngalah” adalah berani mengalah, “luhur (dhuwur) wekasane” artinya akan naik derajatnya atau mendapatkan yang sempurna di kemudian hari. Wani ngalah berbeda dengan kalah, hanya berusaha menyenangkan pihak lain. Artinya dalam persoalan keluarga jika ada yang “marah atau emosi” salah satu pihak harus ada yang mengalah untuk menang (dalam arti menyelesaikan masalah).

Di akhir penjabarannya tentang tema “Childfree” Dr. Adian Husaini, M.Si memberikan saran kepada para peserta online sekaligus permintaan dari penyelenggara acara Sekolah Pemikiran Islam CIOS Unida Gontor bahwa adab dalam bersosial media, mendapat berita/kabar dan juga berteman tentu harus waspada dan hati-hati. Sebagai pengguna sosmed dan mendapat informasi, beliau menyarankan untuk selalu bersikap kritis dan selektif (melalukan verifikasi) terlebih dahulu serta tidak mengambil atau menangkapnya mentah-mentah. Beliau menegaskan pendapatnya dengan mengutip surat al-Hujurat ayat 6;

َٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوْمًا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُم نَٰدِمِينَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”

Atau juga bisa bertanya kepada orang yang lebih tahu (berilmu) “fas`alu ahla adz-dzikri inkuntum laa ta’lamuun” (an-Nahl: 43). Sehingga berita atau informasi yang tidak benar dan tidak baik bisa dihindari.

Kemudian dalam persoalan pergaulan atau berteman. Setiap individu harus memilih teman yang baik agar terhindar dari hal-hal yang tidak dinginkan. Selain itu, dalam berteman juga, setiap orang harus menghilangkan sikap merasa sudah hebat karena sikap tersebut merupakan tindakan yang tidak beradab.

D. Kesimpulan

Dari penjabaran (kajian Dr. Adian Husaini, M.S.i) diatas bisa kita pahami bahwa memilih untuk tidak memiliki anak dalam artian “Childfree” (jika mampu dan bisa bukan dalam keadan terpaksa atau punya ‘illah) merupakan sikap yang tidak tepat dan tindakan yang biadab. Karena fitrah manusia ketika menikah tentu ia mempunyai keinginan dan harapan untuk memiki anak serta mendidiknya dengan baik (berdalilkan ayat-ayat dan hadist sebagaimana yang disebutkan diatas). Sehingga dalam perjalanan kehidupan setelah menikah lebih memiliki ruang untuk melaksakan “al-‘ubudiyyah lillahi ta’ala”. Karena dalam setiap tindakan dalam berkeluarga bernilai ibadah. Semoga kita semua bisa menjadi orang tua yang baik dan dapat melahirkan generasi-generasi yang gemilang di masa yang akan datang.